| Portal berita | Technologi Information |
Teknik Komputer |

Friday, November 9, 2012

On 12:52:00 AM by Unknown in    No comments


Ahmad Syafii Maarif 
Pendahuluan
Di antara kata yang sering ditakuti, dibenci, disalahpahami, dibonsaikan maknanya, dan juga dielukan, adalah kata jihad. Dalam literatur Barat umumnya kata jihad itu diterjemahkan dengan Holy War (Perang Suci), padahal perang hanyalah salah satu bentuk saja dari jihad. Dalam al-Qur’an kata jihad dengan berbagai derivasinya terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah (makkiyah) mau pun dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah (madaniyah) (‘Abd al-Baqi, 1981; 182-183). Shihab, 1996; 500-520). Akar kata jihad adalah j-h-d menjadi jahd dan juhd (keletihan, kegentingan, ketegangan, kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras, dan yang mirip dengan itu (Wehr, 1976: 142-143). Ayat jihad dalam arti perang (qital) melawan musuh sebagai salah satu maknanya baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang kongkret dalam Perang Badar (624) yang terkenal itu. Di sini jihad dan qital (perang) menjadi sinonim. Makalah ini akan mencoba secara kritis meneropong konsep jihad dalam perspektif Islam, baik dari sudut doktrin maupun dari sudut sejarah, dan kira-kira untuk situasi Indonesia sekarang doktrin jihad yang bagaimana yang perlu dikembangkan dan ditegakkan dalam rangka menciptakan sebuah tatanan sosio-politik yang egalitarian, adil, dan bermoral (Rahman, 1980: 62) untuk semua golongan tanpa diskriminasi. Tatanan semacam inilah yang harus menjadi muara dan tujuan perjuangan kita bersama untuk sebuah Indonesia baru yang adil, makmur, ramah, toleran, dan sehat.
Jihad dalam perspektif doktrin dan sejarah
Kita tengok selintas situasi Islam pada awal kemunculannya pada abad ke-7 M. dan mengapa perintah jihad itu diberikan. Pada saat komunitas kecil Muslim baru saja hijrah ke Madinah (622 M.) dalam keadaan yang masih lemah dan letih karena diusir, sementara pihak musuh (Quraisy Makkah) semakin agresif dan beringas, perintah jihad yang pertama kali justru diturunkan. Tujuannya adalah agar komunitas baru ini tetap tegar dan tabah, tidak hancur berantakan dalam lingkungan yang serba keras, kasar, dan penuh kebencian serta dendam kesumat. Kedatangan al-Qur’an dengan prinsip keadilannya bagi elit Makkah sebagai kota komersial berarti akan membahayakan hak— hak monopoli mereka pada sumber-sumber ekonomi dan perdagangan. Oleh sebab itu Muhammad jangan sampai punya kedudukan yang kokoh di Madinah, sebab pasti akan mengancam posisi mereka. Jihad dalam arti perang pada saat itu adalah untuk mempertahankan diri dengan segala kesungguhan daya dan upaya. Jika tidak demikian komunitas itu akan lenyap ditelan oleh kekuatan sejarah yang amat tidak bersahabat itu. Perintah itu terdapat dalam surat al-Baqarah dan al-Hajj: jihad dalam makna qital (perang).
Dan perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (190). Dan bunuhlah mereka di mana pun kamu jumpai, dan keluarkanlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu (Makkah), padahal fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di masjid al-haram hingga mereka memerangi kamu di situ. Maka kalau mereka memerangi kamu (di situ), bunuhlah mereka. Begitulah balasan untuk orang-orang yang kafir (191). Tetapi jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang (192). Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah (siksaan, gangguan, penganiayaan), dan jadilah agama itu karena Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka tidak boleh ada lagi permusuhan, kecuali atas orang-orang yang zalim (193) (Q.S. Al-Baqarah: 190-193).
Bagi umat Islam pada waktu itu perintah jihad ini sungguh sangat berat, karena mereka baru saja membentuk komunitas di Madinah, sebuah komunitas yang belum stabil. Kemudian dalam surat al-Hajj, izin berperang itu kita baca dengan redaksi yang berbeda sebagai berikut:
Diizinkan (berperang) bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka (39). (Yaitu) mereka yang diusir keluar dari negeri-negeri mereka dengan tidak ada alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami ialah Allah! Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia sebagiannya terhadap sebagian yang lain, niscaya dihancurkanlah tempat pertapaan dan gereja-gereja Kristen, tempat-tempat sembahyang Yahudi, dan masjid-masjid di mana nama Allah banyak disebut. Dan sesungguhnya Allah menolong siapa yang membela agamaNya, karena sesungguhnya Allah itu kuat, gagah (40) (Q.S. Al-Hajj: 39-40).
Ayat-ayat di atas jelas sekali menunjukkan makna perang dalam arti defensif, sekalipun pada ayat-ayat lain dapat pula berbentuk ofensif, tergantung jika situasi mengharuskan demikian, sepanjang hal itu untuk menghapuskan kerusakan di muka bumi (fasad fi ‘i-ardh), menjaga rumah-rumah ibadat, bukan merusak atau membakarnya, serta kemudian membangun peradaban dengan cara yang baik dan adil (ishlah). lnilah fungsi kekuasaan dalam Islam, sekalipun tidak jarang dilecehkan oleh umatnya sendiri. Memang tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an menyuruh umat Islam untuk membangun sebuah tatanan politik di dunia untuk tujuan di atas (Rahman, op.cit: 62). Tetapi mengenai apa nama tatanan itu dan bagaimana sistemnya, al-Qur’an tidak menjelaskan dengan rinci, dengan catatan bahwa prinsip musyawarah sebagai simbol egalitarianisme harus dipertahankan. Tergantunglah kepada hasil pemikiran dan kesepakatan bersama untuk merumuskan nama dan sistem kekuasaan itu. Dengan demikian istilah Negara Islam (al-Daulah al-Islamiyah) adalah ciptaan sejarah abad ke-20. Orang tidak akan menjumpai istilah itu dalam al-Qur’an sunnah nabi, dan dalam literatur klasik mana pun. Tentang kekuasaan al-Qur’an menyatakan: “Mereka yang, jika Kami beri kekuasaan di muka bumi, akan mendirikan salat, membayarkan zakat, memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf) dan mencegah kejahatan (al-munkar), dan milik Allah-lah akibat segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj: 41) Secara logis tidaklah mungkin orang memerintahkan kebajikan dan mencegah kejahatan dengan efektif, tanpa adanya kekuasaan. Hanya yang perlu dijawab terlebih dulu adalah pertanyaan: untuk apa berkuasa? Al-Qur’an dalam ungkapan di atas dengan sangat gamblang telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Sebenarnya Islam secara teoretik tidak menemui banyak kesulitan untuk memahami dan menerima prinsip demokrasi modern dengan modifikosi di sana-sini selama watak sekulernya dikesampingkan.
Masih pada periode awal hijrah itu ayat jihad berikut diturunkan:
“Dan berjihadlah kamu di (jalan) Allah dengan jihad yang sungguh-sungguh, karena ia telah memilihmu (untuk itu). Dan ia tidak jadikan atas kamu dalam agama suatu perkara yang berat, agama bapamu, lbrahim ia telah menamakan kamu Muslimin sebelum itu dan dalam (Qur’an) ini, supaya rasul jadi saksi atas kamu dan supaya kamu jadi saksi atas manusia. Maka dirikanlah salat, bayarkan zakat, dan berpeganglah dengan (tali) Allah. Ia Pelindung kamu, malah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S. Al-Hajj: 78)
Dalam lingkungan sejarah Arabia abad ke-7, metode kekerasan dan ancaman memang merupakan norma sehari-hari dalam menyelesaikan sengketa antar suku dan puak. Bahkan dua imperium besar Bizantium dan Sasaniah pada abad itu juga terlibat dalam perang dahsyat yang penuh kekerasan. Maka bagi komunitas Islam yang berusia sangat muda itu tidak ada jalan lain untuk bertahan dan mengerahkan kekuatan-kekuatan sejarah, kecuali dengan jihad. (An-Na’im, 1990: 142) Tanpa jihad tujuan untuk menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar tidak dapat dibayangkan. Oleh sebab itu nabi dan para pengikutnya harus mengatur strategi dan taktik yang jitu untuk menghadapi pihak Quraisy yang setiap saat mengancam untuk menghancurkan Madinah. Ancaman itu akhirnya menjadi kenyataan dalam bentuk Perang Badar pada 624 M., seperti telah disinggung sedikit di atas. Di bawah pimpinan nabi, komunitas Muslim yang kecil itu harus berjihad habis-habisan, mengerahkan segala daya dan upaya, sebab bagi mereka perang itu akan sangat menentukan hari depan mereka: to be or not to beseperti tercermin dalam do’a Rasul Allah: “Ya Allah, di sini pihak Quraisy dengan segala kecongkakannya sedang berupaya untuk mendustakan nabiMu. Ya Allah, aku nantikan pertolonganMu yang telah engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, sekiranya pasukan kecil ini hancur binasa hari ini, Engkau tidak akan disembah lagi.” (Haikal, 1969: 276) Sebuah lirik do’a yang disampaikan dengan seluruh kekuatan jiwa. Do’a ini dikabulkan Allah, maka jadilah Perang Badar itu dimenangkan pasukan Muslim, sekalipun perbandingan dua kekuatan itu adalah satu lawan tiga. Peristiwa Badar telah menjadi salah satu pilar utama sebagai realisasi doktrin jihad guna menopang perkembangan Islam selanjutnya untuk tampil sebagai agama dunia dalam tempo yang relafif singkat. Sekalipun pasukan Muslim kalah dalam perang berikutnya, Perang Uhud (625 M), umat Islam sudah jauh lebih konfiden untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk sekalipun. Sebelum nabi wafat pada 632 M. masih ada beberapa pertempuran lagi, tetapi tidak akan dibicarakan dalam makalah ini.
Timbul pertanyaan kemudian: dengan cara orang sering mengatasnamakan jihad, apakah Islam itu disiarkan dengan mata pedang menginga nabi dan generasi berikutnya banyak terlibat dalam berbagai peperangan? Di kalangan penulis Barat selama berabad-abad bahkan sampai sekarang masih ada yang meyakini bahwa Islam itu memang agama pedang. Karen Armstrong dalam artikelnya untuk mingguan Time setelah Tragedi 11 September 2001 yang memunculkan banyak tuduhan bahwa Islam itu identik dengan terorisme menulis:
The Primary meaning the word jihad is not ‘holy war’ but ‘struggle’ if refers to the difficult effort that is needed to put God’s will into practice at every level-personal and social as well as as political….
Islam did not impose itself by the sword. In a statement in which the Arabic is extremely emphatic, the Koran insists, “There must be no coercion in matters of faith!” (2-256). Constantly Muslims are enjoined to respect Jews and Christians, the ‘People of the Book’, who workship the same God (29-46). In words quoted by Muhammad in one of his last public sermons, God tells all human beings. O people! We have formed you into nation and tribes so that may know one another” (49: 13) – not to conquer. Convert, subjugate, revile or slaughter but to reach out towards others with intelligence and understanding.” (Armstrong, 2001: 25) (Bersambung)

SM No.15/87 2002
Situasi peradaban (atau kebiadaban?) dalam konstelasi serba global sekarang ini memang serba ruwet dan tidak mudah dipahami, kecuali bila kita mampu membaca akar masalahnya yang paling dalam. Harus diakui bahwa umat Islam yang masih berada di buritan peradaban tampaknya sekarang sedang menggapai dengan tertatih-tatih untuk merumuskan jatidirinya yang terkoyak karena  kesalahan  yang  dilakukan  selama berabad-abad. Sebagian mereka memakai kaca mata buram hingga tak mampu lagi melihat realitas yang serba getir dengan sabar dan pikiran jernih; mereka seperti telah kehilangan  harapan  dan  masa depan.  Derita rakyat Palestina  adalah  di  antara  persoalan  yang  sangat mencekam yang dirasakan umat Islam sedunia, tapi rnereka tak berdaya berhadapan dengan Israel dengan bapak angkatnya yang sama-sama memiliki bom nuklir. Negara-negara Arab pun tidak dapat berbuat banyak karena mereka juga mengidap kanker perpecahan yang parah. Ulama mereka karena buta situasi yang sebenarnya ada yang  memperdagangkan  ayat  atas  nama  Tuhan, sebagaimana kritik Iqbal terhadap kelakuan para mulla di India sebelum pertengahan abad yang lalu. Dalam Javed Namah Iqbal melontarkan kritik tajamnya: "Agama si Mulla sedang menimbulkan kekacauan atas nama Tuhan." (Maarif, 2002: 17-18) Negara-negara Arab tidak jarang saling baku hantam atas nama agama.  Inilah  tragedi  sejarah yang  masih berlangsung di depan mata kita, entah untuk berapa lama.
Bagaimana memahami sikap nekad manusia dalam bentuk bom bunuh diri, pembajakan, dan yang serupa itu? Kita kutip lagi Armstrong:
So why the suicide bombing, the hijacking and the massacre of innocent civilians? Far from being endorsed by the Koran, this killing violets some of the most sacred precepts. But during the 20th century, the militant form of piety often known as fundamentalism erupted in every major religion as a rebellion against modernity. Every fundamentalist movement I have studied in Judaism, Christianity and Islam is convinced that liberal, secular sociely is determined to wipe out religion. Fighting, as they imagine, a battle for survival,   fundamentalist   often   feel   justified   in   ignoring   the   more compassionate principles of their faith. But in amplifying the more aggressive passages that exist in all our scriptures, they distort the tradition. (Armtrong, op.cit.: 25)

Apakah terdapat iandasan teologis bagi umat Islam untuk membenci pihak lain, seperti orang Yahudi misalnya? Sepanjang pengetahuan saya, landasan untuk itu tidak ada sama sekali. Jika kemudian terdapat kesan bahwa umat Islam tidak menyukai Israel, bukan karena Yahudinya, tetapi karena zionismenya yang imperialistik. Pengalaman sejarah masa lampau justru membuktikan bahwa orang-orang Yahudi mendapat perlindungan dan kebebasan di negara-negara Muslim pada saat mereka diusir oleh Inquisisi Katolik di Spanyol pada abad pertengahan yang menghancurkan komunitas-komunitas mereka di sana. Banyak di antara pelarian itu pergi mencari perlindungan ke Istambul dan kota-kota lain dalam wilayah imperium Turki Usmani. (Hourani, 1992: 241)
Mengenai toleransi agama menurut catatan Bertrand Russell, sikap para khalifah abad-abad pertengahan cukup mengesankan untuk jadi bukti: "lmperium para Khalifah bersikap lebih ramah (much kinder) terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen  tinimbang  negara-negara  Kristen terhadap orang-orang Yahudi dan Muslim. Orang-orang Yahudi dan Kristen dibiarkan tak terganggu asal mereka bayar upeti. Anti-Semitisme dimotori oleh pihak Kristen sejak saat Imperium Romawi menjadi Kristen.” (Russel, 1957: 202)
Zionisme bukan saja ditolak oleh dunia beradab, tetapi juga ada tokoh Israel yang menentangnya. Seorang penulis dan aktivis perdamaian Israel, Uri Avnery (lh. 1923), yang juga pernah menjadi anggota Knesset (Parlemen Israel) dikenal salah seorang penentang yang gigih terhadap Zionisme sejak Zionisme telah semakin imperialistik. Rencana perdamaiannya bagi konflik Arab-Israel telah dituangkannya dalam karyanya yang  terkenal:  Israel Without Zionism  dengan proposal pembentukan sebuah Konfederasi Arab-Israel,  sebuah Pax Semitica . (Avnery, 1971: 234-246) Dalam usianya yang sudah gaek Avnery baru-baru ini masih bersuara garang menantang politik Ariel Sharon yang brutal terhadap Palestina dan ingin membunuh Arafat. Avnery menulis:
"If Ariel Shoron succeeds in murdering Yasser Arafat, as he wants to, the Palestinian leader will remain in the collective memory of his people, and the whole Arab world, like Moses in Jewish memory. ...Sharon, a bloody person who has not done anything in life apart from shedding blood and set up settlements.... The dead Arafat will be by far more dangerous than the living Arafat. The living Arafat is able and willing to make peace. The dead Arafat can not. He will eternalise the conflict.” (Avnery, 2002: 4)
Saya rasa perjuangan rakyat Palestina untuk memperoleh kemerdekaan tanahairnya dapat dikategorikan sebagai jihad, selama penjuangan itu tetap berada dalam koridor "Jalan Allah." Di luar kategori itu akan menjadi perang biasa, atau perang antara dua  nasionalisme,  betapa  pun banyaknya darah yang tertumpah. Ke dalam kategori kedua inilah kita menempatkan Perang Irak-Iran pada 1980-an yang banyak memakan korban itu. Sekalipun ulama pada kedua belah pihak menyebutnya jihad.

Jihad dalam perspektif keindonesiaan baru
Dalam perspektif bangunan Indonesia baru yang ramah dan adil, konsep jihadharus ditenjemahkan dengan kerja keras dengan penuh kesungguhan dan kejujuran untuk membangun kebersamaan di antara berbagai golongan, aliran, suku, dan pemeluk agama yang berbeda. Dapat juga diartikan perang, yaitu perang melawan korupsi dan kemunafikan yang telah membawa bangsa ini ke pinggir jurang  kehancuran.  Dosa  dan  dusta  kolektif  yang dipertontonkan selama ini harus dihentikan sampai di sini saja!  Saya menyerukan  agar elit politik kita berhenti memikirkan diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka dengan mengorbankan eksistensi bangsa untuk jangka panjang. Dalarn periode transisional yang sangat kritis ini semua kekuatan akal sehat harus berunding bersama secara tulus dengan tujuan tunggal: menyelamatkan masa depan bangsa dari kebangkrutan total, jika kita memang masih menginginkan Indonesia tidak masuk ke dalam museum sejarah. Kita berlomba dengan waktu yang berputar sangat cepat. Baron Schelto van Heemstra, Duta Besar Belanda untuk Indonesia,  dalam sebuah perbincangan dengan saya yang berlangsung pada 23 April 2002 di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, sempat menghibur: "Asal tidak terlambat, krisis Indonesia akan dapat diatasi, tetapi  korupsi  harus  dihentikan  segera." Saya  setuju dengan pendapat itu, tetapi siapkah kita berjihad melawan korupsi?
Penutup
Dalam  Ecclesiastes  seperti  dikutip  Avnery (1971: 246) kita membaca kalimat: “For everything there is a season, and a time for every matter under heaven.” Sekarang waktunya sudah sangat tinggi bagi kita semua untuk berkata jujur kepada bangsa ini dan mengucapkan selamat tinggal kepada semua dosa dan dusta masa lampau. Hanya dengan cara inilah barangkali masa depan kita dapat diselamatkan.

MARI, DI HARI JUM'AT INI SAAT UMAT ISLAM MERAYAKAN LEBARAN MINGGUAN, KITA BERJIHAD FISABILILLAH, IKHLAS DI JALAN ALLAH SWT...!!! ^_^

0 comments:

Post a Comment

Catatan:
• Dilarang menulis link aktif !
• Dilarang ngiklan di kolom komentar !
• Untuk menyisipkan kode, gunakan tag <i rel="code">... KODE ...</i>
• Untuk menyisipkan kode panjang, gunakan tag <i rel="pre">... KODE ...</i>
• Untuk menyisipkan catatan, gunakan [catatan].. TEKS ...[/catatan]
• Untuk menyisipkan gambar, gunakan [img]URL GAMBAR[/img]>